Kamis, 26 Maret 2015

Virtual and The Reality, Nyata tapi Tidak terlihat

Istilah Virtual Reality sudah lama kita dengar, dan teknologi tersebut seakan menjadi impian terpanjang industri game, apalagi setelah bebereapa inovasi virtual reality (VR) yang mencoba mengenalkan cara bermain baru menggunakan layar kedua yang langsung dihadapkan pada mata kita tersebut harus gagal.



Satu yang paling dekat dengan dunia game adalah Nintendo Virtual Boy, konsol game yang berwujud head-mounted virtual reality display (dipasang langsung di kepala, dengan layar beradsa tepat di depan mata), dan pada masanya (dirilis pertengahan 1995) diklaim menjadi yang pertama mampu menampilkan grafis 3D yang sebenarnya. Namun karena banyak hal, mulai promosi yang kurang, penerapan 3D-nya yang ternyata tidak full color, hingga tidak realistis (seharusnya sebuah virtual reality memungkinkan ketika kepala bergerak, sudut pandang tampilan pada layar juga ikut bergerak). Tidak heran jika konsol tersebut langsung dihentikan produksinya tidak sampai setahun kemudian.



Pesaing terdekat Nintendo, Sega, juga sempat mengembangkan Sega VR. Namun dengan alasan efeknya terlalu realistis dan tidak baik untuk gamer, proyek tersebut dihentikan pengembangannya.
Bisa jadi karena trauma kegagalan beberapa perangkat virtual reality yang dikhususkan untuk bermain game di awal tahun 1990-an tersebut, industri game perlu menunggu lama untuk bisa mulai mencari produk yang sangat pas bagi gamer. Baik itu dari sisi harga, dan juga mendukung kenyamanan bermain. Hingga pada tahun 2012 lalu, Palmer Luckey bersama perusahaannya, sebuah perusahaan teknologi yang mengembangkan virtual reality, yaitu Oculus VR, mengenalkan Oculus Rift, head-mounted display untuk menghadirlkan tampilam virtual reality yang dalam. Proyek tersebut mendapat sambutan yang sangat baik, hingga dukungannya dari beberapa perusahaan lain mencapai US $91 juta, serta $2.4 juta melalui pembiayaan massa Kickstarter, hingga akhirnya dibeli oleh Facebook senilai US $2 milyar, atau sekitar Rp. 23 trilyun!




Selain dukungan dana yang begitu besar, John D. Carmack, salah satu nama yang cukup terkenal di industri game PC, co-founder id Software, yang juga berada di balik nama franchise yang identik dengan tampilan first-person seperti Wolfenstein 3D, Doom, Quake, Rage dan banyak sekuelnya (serta dianggap sebagai bapaknya genre FPS), yang pasti akan sangat pas dan bisa membuat gamer serasa masuk ke dalamnya, jika dimainkan menggunakan head-mounted display semacam Oculus Rift. Karena itulah Carnack sudah lama mengamati perkembangan gadget yang dikembangkan Palmer, dan sebelum E3 2012 Id Software mengumumkan jika Doom 3 BFG Edition akan melengkapi hampir 170 game lainnya, yang kompatibel dengan Oculus Rift. Setahun kemudian, selama E3 2013, Doom 3 BFG Edition didemokan. Dan hasilnya sungguh luar biasa. Sebuah game dengan mekanis gameplay yang usianya dua dekade, namun ketika dimainkan menggunakan sebuah head-mounted display, semuanya terasa berbeda, gamer serasa terpisah dari dunia nyata, dan lebih bisa berada di dalam game tersebut.



Demikian jelas, virtual reality menawarkan suatu pengalaman baru, tanpa perlu sebuah konsol harus di-upgrade spesifikasinya. Sesuatu yang banyak disarankan para pengamat industri game, agar mesin game bisa menawarkan pengalaman yang berbeda dari biasanya, bukan sekadar franchise yang berulang. Bisa jadi, Facebook memahami jika virtual reality akan menjadi salah satu tren dari masa lalu yang kini kembali dengan antusias yang lebih besar, dan Oculus Rift sudah mengawalinya di garis depan, dengan target akan dipasarkan akhir 2014 nanti. Ketakutan teknologi dengan pengalaman bermain unik semacam ini, dukungan game yang minim, sudah berhasil dihapus dengan adanya (sampai detik artikel ini ditulis) 170 game yang kompatibel, termasuk game yang sukses berkat pemasaran early access seperti 7 Days to Die, Daylight, dan DayZ,  game yang juga identik konsol seperti Castlevania: Lords of Shadow 2, Dead Trigger, hingga Titanfall, mayoritas FPS baru untuk PC/Steam, bahkan game dari developer indie Indonesia, Dreadeye, juga dikabarkan akan mendukung Oculus Rift. Game lama seperti Skyrim dan Mirror’s Edge juga dalam proses konversi mendukung tampilan virtual reality. Dan jika tren virtual reality ini bukan salah satu yang akan besar di dunia game di masa datang, Sony tidak akan membuat perangkat yang sama. Selama Game Developers Conference 2014 kemarin, mereka mengenalkan headset virtual reality mereka sendiri, yang disebut sebagai Project Morpheus (masih kode nama). Versi purwa rupanya dibawa selama ajang GDC 2014 lalu, dan didemokan ke hadapan para developer. Seperti Oculus Rift, Morpheus tampil dalam bentuk sebuah head-mounted display untuk menampilkan virtual reality yang dalam dari sebuah game. Sejauh ini Morpheus hanya didesain khusus untuk konsol current-gen mereka, PS4. Belum ada detail lain dari Morpheus, hanya disebutkan akan dirilis tahun depan.
sumber:www.duniaku.net

0 komentar:

Posting Komentar